EPISTEMOLOGI POLEMIK NASAB

Kolom68 Views

Oleh : Dr. (cand) Aan Aliyudin, S.Ag., M.Ag.

Menurut Abed al-Jabiri, ada tiga pendekatan dalam pemahaman dan pencarian pengetahuan dalam tradisi intelektual Islam, yaitu Bayani, Burhani, dan Irfani. Secara ringkas, penjelasan ketiganya adalah sebagai berikut:

Epistemologi Bayani mengandalkan teks dan nash (Al-Quran dan Hadits) sebagai sumber utama pengetahuan. Karakteristik utama dari proses produksi pengetahuan Bayani adalah penggunaan mekanisme kognitif yang menghubungkan furu’ dengan ushul melalui konsep qiyas, istidlal bi al-syahid ala al-ghaib (penalaran analogis antara dunia inderawi dan transenden), dan tasybih (perbandingan). Nalar Bayani merupakan ide yang hadir di dalam berbagai bidang ilmu, seperti bahasa, fiqih, ilmu kalam, dan balaghah.

Epistemologi Irfani (makrifat) adalah model penalaran yang berdasarkan pada pengalaman spiritual langsung atas realitas yang tampak. Pengetahuan jenis ini diperoleh langsung dari Tuhan melalui pengalaman rohani yang didasarkan pada cinta atau tekad yang kuat yang diperoleh melalui hasil intuisi dan kata hati dengan metode do’a, tafakur, dan dzikir, serta berfokus pada alat-alat pengalaman batin seperti dzawq, qalb, wijdan, dan bashirah. Metodologi dan pendekatan irfani mampu menyusun dan mengembangkan ilmu kesufian.

Epistemologi Burhani bersumber pada rasio dan selalu terkait dengan akal. Artinya, penilaian dan keputusan terhadap informasi yang diterima melalui indera didasarkan pada dalil-dalil logika. Langkah sederhananya terdiri dari pembentukan konsep (tasawur) dan pembuktian kebenaran (tashdiq). Sistem utama penalaran Burhani adalah silogisme dan menekankan kontribusi pengetahuan empiris dengan berdasar pada pengamatan, pengujian, dan metode ilmiah yang sistematis.

Ketiga bentuk epistemologi di atas telah berkembang sepanjang sejarah. Karena ketiganya memiliki sumber dan metode yang berbeda, maka tentu saja mereka sering berbeda dalam melihat dan menyimpulkan realitas dan isu-isu yang berkembang di dunia Islam. Di dalam tulisan ini saya akan melihat polemik nasab dengan menggunakan perspektif ketiga bentuk epistemologi tersebut. Perlu ditekankan, saya tidak akan masuk pada ilmu nasab secara substantif karena memang saya tidak punya kapasitas dalam hal tersebut.

Epistemologi Bayani sangat mengandalkan teks (nash keagamaan) sebagai sumber utama pengetahuan. Realitas dan setiap isu yang berkembang selalu dicari rujukannya di dalam nash. Dengan kata lain, bentuk epistemologi ini melihat realitas dan isu dengan menggunakan kacamata nash dengan proses qiyas. Di dalam polemik nasab, misalnya, epistemologi Bayani cenderung melihatnya dalam kaca mata nash sehingga berkesimpulan bahwa jika tidak ada teksnya, maka tidak ada, tidak riil.

Epistemologi Burhani menekankan penalaran logis dan bukti empiris. Sesuatu itu dianggap benar jika masuk akal dan ada bukti nyata (empiris). Dalam dunia pendidikan, epistemologi Burhani terimplementasikan dalam metode ilmiah. Di dalam polemik nasab, bukti empirisnya adalah fakta-fakta sejarah, khususnya teks kitab-kitab nasab dan yang berkaitan dengannya. Karena bukti empirisnya berupa teks-teks kitab/buku, maka bentuk epistemologi Burhani dan Bayani agak sejalan dalam hal ini. Keduanya hanya berbeda penekanan, epistemologi Bayani lebih menekankan teks, sedangkan epistemologi Burhani lebih menekankan bukti empiris.

Yang lebih menonjol di dalam epistemologi Irfani bukanlah rujukan nash, penalaran logis, dan bukti empiris, tetapi lebih menekankan pengalaman rohani yang diperoleh melalui hasil intuisi dan kata hati dengan metode do’a, tafakur, dan dzikir, serta berfokus pada alat-alat pengalaman batin seperti dzawq, qalb, wijdan, dan bashirah. Di dalam polemik nasab, epistemologi Irfani juga lebih mengedepankan intuisi dan pengalaman batin, bukan nash, rasio, dan bukti empiris.

Ketiga bentuk epistemologi tersebut melihat polemik nasab dengan cara yang berbeda sehingga bisa melahirkan kesimpulan yang berbeda. Karena ketiganya sudah hidup berabad-abad di dunia Islam sampai saat ini, maka saat ini pun ketiganya merespon polemik nasab dengan cara dan kesimpulannya masing-masing. Di dalam realitas, tentu saja tidak sesederhana penggambaran di dalam tulisan ini. Tapi paling tidak, tulisan ini ingin menggugah kesadaran bahwa perbedaan adalah sesuatu yang biasa. Ketiga bentuk epistemologi di atas seharusnya menyadarkan kita bahwa ketiganya adalah gambaran bahwa tidak ada manusia yang sempurna dengan potensi yang berbeda-beda. Ada yang lebih cenderung Bayani, Burhani, dan Irfani, karena itu maka kita seharusnya saling belajar dan saling melengkapi.

Perbedaan itu tidak akan menyebabkan permusuhan dan perpecahan jika semua pihak menjaga adab dengan didasari tawadhu’ (rendah hati). Para ulama pendahulu kita telah memberikan banyak sekali keteladanan, bagaimana mereka berbeda pendapat dengan tegas, tetapi tetap menjaga adab, saling menghormati, bahkan saling mengasihi. Dengan kata lain, perbedaan pendapat itu akan menjadi rahmat jika dilandasi adab yang baik dan kerendahan hati, dan justru akan menjadi madarat jika dilandasi adab yang buruk dan kesombongan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 comment